Rabu, 04 September 2013

cerpen



TUMBAL
Oleh : nuryati
Langit terlihat begitu cerah, terlihat burung- burung mulai kembali kesarangnya, mega merah diufuk barat mengiringi sang surya kembali keperaduannya. Gemercik air sungai terdengar dari pemukiman penduduk, menandakan kalau sungai makin hari makin dangkal tetapi  tidak semua badan sungai, bagian hulu sungai justru sebaliknya air terlihat sangat tenang dari kejahuan hanya berputar-putar saja jika diterpa angin, itulah bagian sungai yang telah dikeruk diambil batu dan pasir dengan alat berat milik proyek orang kota, hanya tinggal bagian hilir saja yang sekarang masih dangkal dan mungkin setelah bagian hulu sudah dikeruk semua pastilah akan pindah kebagian hilir.
Musim ke tiga memang baru saja berlangsung jadi tidaklah mungkin sungai ini akan banjir yang mana jika itu terjadi akan menghalangi proyek  penambangan itu. Suara dentuman batu yang dilempar keatas bak truk terlihat begitu keras, sungai yang dulunya sepi kini terlihat seperti terminal. Puluhan truk berbaris berjejer menunggu giliran baknya untuk di isi, fenomena ini terjadi hampir setiap hari dari pagi setelah azan subuh sampai menjelang sore, badan sungai sekarang menjadi rusak begitu juga dengan ekosistem airnya banyak ikan-ikan setres sehingga mengakibatkan sulit untuk dipancing maupun dijala. Tak hanya itu hutan bambu milik penduduk yang ada dibibir sungai ikut dirusak sehingga mengakibatkan longsor,  hal ini sangat di takutkan oleh penduduk jika tiba musim penghujan dan air sungai meluap pastilah rumah penduduk juga akan ikut terbawa arus karena hutan bambu yang berfungsi untuk menahan tanah yang ada di atas sungai telah rusak.
Hari ini tepat empat puluh hari kematian Andi, bocah berumur sepuluh tahun yang meninggal  akibat terpeleset dibibir sungai saat menemani ibunya  yang sedang mencuci baju di pancuran. Andi terpeleset jatuh kesungai  dibagian yang habis di keruk yang dalamnya kurang lebih lima meter, sebelum adanya proyek penambangan milik orang kota itu ada, memang hampir setiap tahun pasti ada korban tetapi yang menjadi korban adalah orang-orang tamu di desa itu menurut mitos penduduk setempat bahwa sungai itu dijaga oleh ular berkepala manusia dan berambut panjang yang mereka sebut kumandang, jika akan ada orang yang menjadi korban pasti malam sebelum kejadian akan terdengar kumandang itu menangis itulah mitos yang diyakini penduduk bertahun-tahun.
“Kang sebenarnya aku sudah muak dengan ulah mereka para orang kota yang telah merusak sungai kita” ucap kang Parmin pada suatu siang dibawah pohon dipinggir sungai.
“ya tapi gimana lagi, kita ini wong cilik , tidak bisa melakukan apa-apa” kang Gito menanggapi kekesalan kang Parmin.
“lihat sungai menjadi rusak, ikan –ikan pun menjadi susah ditangkap, ditambah lagi tanah banyak yang longsor, mameng orang kota itu bajingan semua” sambil menunjuk ketempat penambangan itu kang Parmin kelihatan sangat geram.
“sudah kau hitung berapa yang sudah menjadi korban disungai itu” ucapan kang Parmin tiba-tiba mereda, yang awalnya sangat keras seketika berubah menjadi lirih ketika pembicaraan dialihkan masalah korban.
“terahir Andi, anaknya pak Bambang” dia korban ke enam” jawab kang Gito datar saja.
“biasanya korban hanyut akan terhenti jika sudah berjumlah tuju”kang Parmin membisikan pembicaraannya  di depan teling kang Gito persis
“Huss,.,.,. kamu ini kang, pamali bicara seperti itu. Masih mau warga kita yang menjadi korban?”
Sebenarnya tak hanya kang Parmin saja yang geram dengan ulah orang kota itu, hampir semua warga juga mengalami hal yang sama tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain mengumpat dibelakang.
Matahari berdiri tepat  di atas kepala, terik hari ini memang terasa begitu membakar kulit, suara dentuman batu sejenak terhenti rupanya mereka juga bisa beristirahat dan mungkin akan memulainya kembali ketika matahari tergelincir.
“bu nanti sore mandi di pancuran ya” rengek Eko pada ibunya siang itu.
“tak usah lah ko, mandi di belik sawah kan bisa, lebih dekat juga” ibu eko mencoba mengalihkan ke inginan Eko untuk mandi di pancuran.
“sebenarnya ibu juga takut mandi di pancuran, jalannya terjal takut terpeleset” tambah ibu Eko lagi.
“pokoknya nanti sore mandi di pancuran, kalau ibu tak mau menemani biar Eko berangkat sendiri” Eko terus bersikeras untuk mandi di pancuran. Sebenarnya dia sebelumnya tidak pernah mandi di pancuran, dia dan ibunya jika ingin mandi pasti dibelik tempat pemandian yang ada di tengah sawah depan rumahnya, karena Eko bersikeras untuk mandi di pancuran akhirnya ibunyapun mengalah menuruti keinginan Eko untuk mandi di pancuran.
Hingga sore tiba, Eko tak sabar untuk segera menuju pancuran yang letaknya berada di bibir sungai persis tanpa menunggu ibunya yang sedang mempersiapkan alat mandi. Sampai di pancuran Eko segera  melepaskan baju bukan  untuk mandi di pancuran tetapi dia justru menuju sungai yang sedang di keruk batunya itu, di bagian hilir  sungai terlihat memang sangat dangkal tetapi arusnya sangat deras. Tiba- tiba ketika Eko akan melangkahkan kakinya ke sebuah batu di terpeleset dan terpental ketengah sungai yang deras dengan kepala  menghantam batu sungai, seketika itupun dia langsung terseret arus yang sangat deras. Ibu Eko yag melihat anaknya hanyut langsung menjerit.
“tolonggg, tolonggg, anak saya hanyutt” jeritan ibu Eko menghentikan kerja orang-orang kota dan kang Gito yang sedang mencangkul sawahnya di sebrang sungai seketikapun langsung  berlari dan menceburkan diri kesungai, orang-orang kota yang berdiri  hanya melongo saja. Setelah mungkin sekitar sepuluh menit kang Gito menelusuri badan hilir sungai akhirnya Eko pun dapat di temukan , tetapi naas Eko dapat ditemukan dengan sudah tidak benafas lagi, banyak luka –luka ditubuhnya akibat benturan batu selain itu tubunya pun biru akibat sudah banyak menelan air.
Ibu Eko seketika menangis diatas tubuh anaknya,  tak kuasa melihat kondisi anaknya yang sangat memprihatinkan itu, berita hanyutnya Eko di sungai dekat penambangan itu tersebar ketelinga semua penduduk, dengan kurang lebih dua puluh orang penduduk mengeroyok para penambang, tak peduli ada yang hanya mengenakan celana dalam saja mereka mengeroyok para penambang hingga mereka lari terbirit-birit menjauh dari amukan penduduk.
Eko adalah korban ketujuh dalam satu tahun ini, dan menurut desas desus penduduk ternyata penambangan itu menginginkan tujuh tumbal untuk kejayaan proyeknya, tentang kebenaran itu tak ada satu orang pun yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar