TUMBAL
Oleh
: nuryati
Langit
terlihat begitu cerah, terlihat burung- burung mulai kembali kesarangnya, mega
merah diufuk barat mengiringi sang surya kembali keperaduannya. Gemercik air
sungai terdengar dari pemukiman penduduk, menandakan kalau sungai makin hari
makin dangkal tetapi tidak semua badan
sungai, bagian hulu sungai justru sebaliknya air terlihat sangat tenang dari
kejahuan hanya berputar-putar saja jika diterpa angin, itulah bagian sungai
yang telah dikeruk diambil batu dan pasir dengan alat berat milik proyek orang
kota, hanya tinggal bagian hilir saja yang sekarang masih dangkal dan mungkin
setelah bagian hulu sudah dikeruk semua pastilah akan pindah kebagian hilir.
Musim ke tiga memang baru saja berlangsung
jadi tidaklah mungkin sungai ini akan banjir yang mana jika itu terjadi akan
menghalangi proyek penambangan itu.
Suara dentuman batu yang dilempar keatas bak truk terlihat begitu keras, sungai
yang dulunya sepi kini terlihat seperti terminal. Puluhan truk berbaris
berjejer menunggu giliran baknya untuk di isi, fenomena ini terjadi hampir
setiap hari dari pagi setelah azan subuh sampai menjelang sore, badan sungai
sekarang menjadi rusak begitu juga dengan ekosistem airnya banyak ikan-ikan
setres sehingga mengakibatkan sulit untuk dipancing maupun dijala. Tak hanya
itu hutan bambu milik penduduk yang ada dibibir sungai ikut dirusak sehingga
mengakibatkan longsor, hal ini sangat di
takutkan oleh penduduk jika tiba musim penghujan dan air sungai meluap pastilah
rumah penduduk juga akan ikut terbawa arus karena hutan bambu yang berfungsi
untuk menahan tanah yang ada di atas sungai telah rusak.
Hari ini tepat empat
puluh hari kematian Andi, bocah berumur sepuluh tahun yang meninggal akibat terpeleset dibibir sungai saat
menemani ibunya yang sedang mencuci baju
di pancuran. Andi terpeleset jatuh
kesungai dibagian yang habis di keruk
yang dalamnya kurang lebih lima meter, sebelum adanya proyek penambangan milik
orang kota itu ada, memang hampir setiap tahun pasti ada korban tetapi yang
menjadi korban adalah orang-orang tamu di desa itu menurut mitos penduduk
setempat bahwa sungai itu dijaga oleh ular berkepala manusia dan berambut
panjang yang mereka sebut kumandang,
jika akan ada orang yang menjadi korban pasti malam sebelum kejadian akan
terdengar kumandang itu menangis
itulah mitos yang diyakini penduduk bertahun-tahun.
“Kang sebenarnya aku
sudah muak dengan ulah mereka para orang kota yang telah merusak sungai kita”
ucap kang Parmin pada suatu siang dibawah pohon dipinggir sungai.
“ya tapi gimana lagi,
kita ini wong cilik , tidak bisa
melakukan apa-apa” kang Gito menanggapi kekesalan kang Parmin.
“lihat sungai menjadi
rusak, ikan –ikan pun menjadi susah ditangkap, ditambah lagi tanah banyak yang
longsor, mameng orang kota itu bajingan semua”
sambil menunjuk ketempat penambangan itu kang Parmin kelihatan sangat geram.
“sudah kau hitung
berapa yang sudah menjadi korban disungai itu” ucapan kang Parmin tiba-tiba
mereda, yang awalnya sangat keras seketika berubah menjadi lirih ketika
pembicaraan dialihkan masalah korban.
“terahir Andi, anaknya
pak Bambang” dia korban ke enam” jawab kang Gito datar saja.
“biasanya korban hanyut
akan terhenti jika sudah berjumlah tuju”kang Parmin membisikan
pembicaraannya di depan teling kang Gito
persis
“Huss,.,.,. kamu ini
kang, pamali bicara seperti itu. Masih mau warga kita yang menjadi korban?”
Sebenarnya tak
hanya kang Parmin saja yang geram dengan ulah orang kota itu, hampir semua
warga juga mengalami hal yang sama tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain
mengumpat dibelakang.
Matahari berdiri
tepat di atas kepala, terik hari ini
memang terasa begitu membakar kulit, suara dentuman batu sejenak terhenti
rupanya mereka juga bisa beristirahat dan mungkin akan memulainya kembali
ketika matahari tergelincir.
“bu nanti sore mandi di
pancuran ya” rengek Eko pada ibunya
siang itu.
“tak usah lah ko, mandi
di belik sawah kan bisa, lebih dekat
juga” ibu eko mencoba mengalihkan ke inginan Eko untuk mandi di pancuran.
“sebenarnya ibu juga
takut mandi di pancuran, jalannya terjal takut terpeleset” tambah ibu Eko lagi.
“pokoknya nanti sore
mandi di pancuran, kalau ibu tak mau
menemani biar Eko berangkat sendiri” Eko terus bersikeras untuk mandi di pancuran. Sebenarnya dia sebelumnya
tidak pernah mandi di pancuran, dia
dan ibunya jika ingin mandi pasti dibelik
tempat pemandian yang ada di tengah sawah depan rumahnya, karena Eko
bersikeras untuk mandi di pancuran akhirnya
ibunyapun mengalah menuruti keinginan Eko untuk mandi di pancuran.
Hingga sore tiba, Eko
tak sabar untuk segera menuju pancuran yang letaknya berada di bibir sungai
persis tanpa menunggu ibunya yang sedang mempersiapkan alat mandi. Sampai di pancuran Eko segera melepaskan baju bukan untuk mandi di pancuran tetapi dia justru menuju sungai yang sedang di keruk
batunya itu, di bagian hilir sungai
terlihat memang sangat dangkal tetapi arusnya sangat deras. Tiba- tiba ketika
Eko akan melangkahkan kakinya ke sebuah batu di terpeleset dan terpental
ketengah sungai yang deras dengan kepala
menghantam batu sungai, seketika itupun dia langsung terseret arus yang
sangat deras. Ibu Eko yag melihat anaknya hanyut langsung menjerit.
“tolonggg, tolonggg,
anak saya hanyutt” jeritan ibu Eko menghentikan kerja orang-orang kota dan kang
Gito yang sedang mencangkul sawahnya di sebrang sungai seketikapun
langsung berlari dan menceburkan diri
kesungai, orang-orang kota yang berdiri
hanya melongo saja. Setelah mungkin sekitar sepuluh menit kang Gito menelusuri
badan hilir sungai akhirnya Eko pun dapat di temukan , tetapi naas Eko dapat
ditemukan dengan sudah tidak benafas lagi, banyak luka –luka ditubuhnya akibat
benturan batu selain itu tubunya pun biru akibat sudah banyak menelan air.
Ibu Eko seketika menangis
diatas tubuh anaknya, tak kuasa melihat
kondisi anaknya yang sangat memprihatinkan itu, berita hanyutnya Eko di sungai
dekat penambangan itu tersebar ketelinga semua penduduk, dengan kurang lebih
dua puluh orang penduduk mengeroyok para penambang, tak peduli ada yang hanya
mengenakan celana dalam saja mereka mengeroyok para penambang hingga mereka
lari terbirit-birit menjauh dari amukan penduduk.
Eko adalah korban
ketujuh dalam satu tahun ini, dan menurut desas desus penduduk ternyata
penambangan itu menginginkan tujuh tumbal untuk kejayaan proyeknya, tentang
kebenaran itu tak ada satu orang pun yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar