Kamis, 19 Desember 2013



Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa selain Surakarta. Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan penting diantara kebudayaan daerah lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa lampau dan saat ini. Dalam kebudayaan dan kehidupan Jawa terkandung nilai-nilai yang menjadi pedoman dan pegangan hidup dalam bermasayarakat. Pada saat ini dan di masa mendatang nilai-nilai tersebut mulai terdegradasi dalam pusaran dinamika budaya global. Bab ini membahas latarbelakang dan karakteristik kehidupan masyarakat Jawa yang dapat dijadikan landasan bagi berbagai studi sosial budaya masyarakat Jawa.
1. Sejarah Yogyakarta
Kronologi sejarah didasarkan pada catatan yang ditinggalkan atau ditemukan bukan berdasarkan mitos yang berkembang. Catatan sejarah awal Yogyakarta dan sekitarnya dijumpai dari prasasti-prasasti yang ditemukan pada bagian bangunan candi yang banyak ditemukan di sekitar Yogyakarta. Bangunan-bangunan candi ini juga merupakan bukti bahwa pada masa itu sekitar Yogyakarta telah menjadi pusat peradaban yang cukup maju.

Sejarah yang cukup panjang tercatat semenjak tahun 732 M dimana seorang raja telah membangun kerajaan Mataram kuno pada wilayah ini. Raja menurunkan dua dinasti besar yaitu Syailendra dan Sanjaya. Antara 750 – 850 M Dinasti Syailendra yang bercorak Budha berada pada tampuk kekuasaan yang banyak menghasilkan mahakarya seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Lumbung dan lainnya. Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu berkuasa 856 – 930 M melanjutkan kejayaan Dinasti Sailendra menghasilkan mahakarya seperti Candi Prambanan, Kraton Ratu Boko, Candi Sambisari dan lainnya. Kedua dinasti dapat mewujudkan harmonisasi antara Budha dan Hindu yang tercermin dari corak candi yang saling berdampingan di sekitar Kecamatan Prambanan dan Kalasan saat ini (Subarno, 1994).
Pada masa sekitar 930 - 1000 M Mataram Kuno di Yogyakarta mulai memudar dan muncul kelanjutannya di Jawa Timur. Sebab-sebab hilangnya Mataram Kuno tidak dapat dipastikan, tetapi kombinasi dari berbagai peristiwa seperti letusan Gunungapi Merapi, gempabumi, wabah penyakit, maupun serbuan dari luar merupakan spekulasi yang sering ditawarkan sejarawan. Yang pasti adalah semua mahakarya pada masa itu, ditemukan sebagai puing-puing reruntuhan atau tertimbun tanah semenjak abad ke-18 sampai sekarang tanpa menyisakan kehidupan dan perilaku masyarakat berperadaban Hindu-Budha.
Andreastuti dkk. (2006) menyimpulkan mengenai rekonstruksi  runtuhnya Mataram Kuno hubungannya dengan Merapi sebagaimana uraian berikut ini.
”Dugaan Labberton (1922) dan Bemmelen (1949) bahwa suatu letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur telah dibantah oleh Boechari (1976) karena Kerajaan Mataram telah pindah ke Jawa Timur sejak tahun 928. Hal ini juga ditunjukkan dengan ditemukannya Prasasti Anjukladang yang dibuat oleh Mpu Sindok pada tahun 937, dan merupakan prasasti Kerajaan Mataram pertama di Jawa Timur. Pada prasasti Pucangan secara jelas disebutkan bahwa pralaya di kerajaan Mataram terjadi tahun 1016 disebabkan oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram pada jaman pemerintahan Raja Darmawangsa yang memerintah dari tahun 991-1016 M. Penggantinya adalah Airlangga yang membuat Prasasti Pucangan pada tahun 1041 dan memerintah dari tahun 1019-1042. Dari penemuan endapan Selo tefra dan berdasarkan fakta sejarah bahwa Mpu Sindok telah memerintah pada 928 atau 929 sampai 948, maka kemungkinan letusan Merapi cukup besar waktu itu (VEI 3-4) yang terjadi antara tahun 765-911 telah mendorong penduduk Kerajaan Mataram untuk mulai pindah ke Jawa Timur. Endapan debris avalanche yang terjadi di Merapi mungkin dalam skala kecil antara tahun 870-970. Bukti-bukti ini menyimpulkan bahwa letusan besar Gunung Merapi pada tahun 1006 tidak pernah terjadi. Dari fakta-fakta yang telah dibahas di atas, ada tiga kemungkinan penyebab pindahnya penduduk Kerajaan Mataran ke Jawa Timur pada waktu itu, yaitu akibat intensitas Merapi yang tinggi, atau untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya, dan yang terakhir karena letak lokasi perdagangan yang strategis di daerah Delta Brantas.”
 Lebih jelas Mulyaningsih (1999) menegaskan bahwa letusan ke arah selatan terjadi tahun 1285 berupa surukan piroklastik sejauh 32,5 km dan aliran lahar. Tahun 1587-1600 letusan besar Merapi berupa surukan piroklastik sejauh 32 km dan aliran lahar sejauh 34,5 km. Tahun 1660 terjadi letusan Merapi diikuti letusan berikutnya yang membentuk kipas koluvial dengan ketebalan endapan sekitar 60-800 cm. Letusan-letusan tersebut mengubur sisa-sisa kerajaan Mataram Kuno yang sudah ditingalkan.
Catatan sejarah Yogyakarta muncul kembali dengan kehadiran Pemanahan (keturunan Majapahit) pada tahun 1570 dengan membangun Kerajaan Mataram Kotagede (Richfles, 2006). Secara geopolitik wilayah ini cenderung aman dari serbuan asing meskipun jauh dari pusat perekonomian yang berada di pesisir utara Jawa. Kerajaan selanjutnya dikokohkan oleh keturunannya yaitu Sutowijoyo yang bergelar Penembahan Senopati (1587), sebagai orang yang meletakkan kembali kekuasaan serta pusat budaya Jawa di Yogyakarta dan sekitarnya untuk masa-masa selanjutnya. Turunannya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613) yang terkenal dalam serangan terhadap VOC di Batavia. Amangkurat I anak Hanyokrokusumo bertahta tahun 1648 yang bertabiat buruk dan kejam memindahkan pusat kerajaan di Pleret untuk meneguhkan kekuasaannya. Putranya Amangkurat II bekerjasama dengan Trunonjoyo pada tahun 1670 melakukan pemberontakan dan berhasil menyingkirkan Amangkurat I, kemudian memindahkan kerajaan ke Kartosuro. Geger Pacinan menjadikan kerajaan bergeser dari Kartosuro ke Surakarta. Perang suksesi pertama dan kedua merupakan dinamika politik di kerajaan Surakarta.
Perang suksesi ketiga di Surakarta dan campur tangan VOC menghsilkan perjanjian Gianti yang memunculkan kembali Yogyakarta sebagai kerajaan pecahan dari Surakarta. Pada 7 Oktober 1756 Kesultanan Yogyakarta didirikan oleh Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I. Lokasi kerajaan secara geopolitik terletak pada perlindungan pertahanan yang kuat yaitu benteng untuk pertahanan ring pertama, Sungai Winongo dan Code ring kedua, Sungai Bedog dan Gajahwong ring ketiga, serta Sungai Progo dan Opak ring ke empat (Anonim, 2005). Pada sisi utara Gunungapi Merapi sebagai simbol api dan sisi selatan Laut Selatan sebagai simbol air dengan pusat penyatuannya di kraton, merupakan simbolisasi hubungan kehidupan kosmik yang telah dijadikan sebagai kekuatan wibawa kerajaan. Pembangunan pertahanan bawah tanah Taman Sari diwujudkan sebagai refleksi terhadap dinamika politik di Kerajaan Surakarta yang tidak memiliki sistem pertahanan berlapis.
Tahun 1825-1830 seorang pangeran Yogyakarta yaitu Diponegoro melakukan perlawanan terhadap kesewenangan Belanda yang secara yuridis telah menjadi penguasa mutlak atas Jawa bahkan Nusantara. Perang Jawa ini merupakan pukulan berat bagi Belanda meskipun hanya berlangsung sebentar. Pasca perang Jawa, Belanda semakin memperkokoh kedudukannya untuk menguasai Nusantara. Masa 1900-an Yogyakarta memiliki peran yang tidak kecil dalam kebangkitan kesadaran akan konsepsi Indonesia yang dikenal sebagai Kebangkitan Nasional. Pernyataan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII tentang Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia pasca pernyataan proklamasi 1945, menjadikan Yogyakarta dipilih sebagai Ibukota perjuangan bagi Republik Indonesia antara tahun 1946-1949.
2. Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa yang dimaksud adalah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan yang masih menjalankan nilai-nilai budaya Jawa baik kebiasaan perilaku maupun seremonialnya. Saat ini etnis Jawa telah menyebar hampir disegala penjuru Indonesia. Ditinjau dari geografis masa lampau, kehidupan masyarakat Jawa ada di wilayah administrasi propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saat ini. Masyarakat terbagi dalam Jawa pesisir utara dan pedalaman. Berdasar administrasi saat ini masyarakat Jawa pesisir meliputi eks karesidenan Pekalongan, Semarang, Tuban, dan Surabaya, sedangkan masyarakat Jawa pedalaman meliputi eks karesidenan Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, serta Madiun, Kediri, dan Malang, ketiga terakhir dikenal sebagai wilayah Mataraman. Wilayah Tapalkuda merupakan wilayah yang pengaruh Jawanya berkombinasi dengan pengaruh Madura.
Dalam masyarakat Jawa dikenal dua kaidah dasar kehidupan yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 2001). Kedua prinsip merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk kongkrit semua interaksi. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Rukun merupakan keadaan yang harus dipertahankan dalam semua hubungan sosial seperti rumah tangga, dusun, desa, dan lainnya. Tujuan rukun adalah keselarasan sosial. Sementara prinsip hormat merupakan cara seseorang dalam membawa diri selalu harus menunjukkan sikap menghargai terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat didasarkan pada pandangan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis yang merupakan kesatuan selaras sesuai tatakrama sosial.
Kesadaran akan kedudukan sosial merupakan hal yang penting dalam prinsip rukun dan hormat masyarakat Jawa. Interaksi sosial yang berlangsung harus menyadari dengan siapa interaksi tersebut sedang berlangsung. Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya stratifikasi masyarakat sebagai suatu warisan sistem kerajaan dan sistem feodal penjajah masa lampau. Dua golongan stratifikasi masyarakat yang saling berhadapan tersebut meliputi priyayi-wong lumprah, wong gedhe-wong cilik, pinisepuh-kawulo mudho, santri-abangan, dan sedulur-wong liyo (Endraswara, 2003). Stratifikasi ini menuntut suatu komunikasi yang berbeda dalam berinteraksi mengimplementasikan prinsip rukun dan hormat.
Sebagai suatu sistem kebudayaan, dalam kehidupan masyarakat Jawa juga memiliki suatu pengalaman religius yang khas. Secara umum pengalaman religius khas masyarakat Jawa adalah (Suseno, 2001) : (1) kesatuan masyarakat, alam dunia, dan alam adikodrati sebagai sesuatu yang tidak terpecah belah, (2) sangkan paraning dumadi, dan (3) takdir. Sementara paham sinkritisme, yaitu  sikap mendua yang dapat diperankan oleh orang Jawa, memiliki sisi positif seperti tingginya kemampuan adaptasi masayarakat Jawa dimanapun berada, meskipun sisi negatif seperti ketidakterusterangan sangat mewarnai dalam kehidupan.
Kesatuan masyarakat, alam dunia, dan alam adikodrati terungkap dalam kepercayaan bahwa semua alam empiris berkaitan persis dengan peristiwa di alam metaempiris. Manusia dalam berperilaku tidak boleh gegabah sehingga bertabrakan dengan yang ada di alam metaempiris. Satu-satunya cara menghindari tabrakan adalah dengan belajar dari pengalaman dan dari tradisi yang ada. Tetapi bagaimana cara mengenali alam adikodrati yang tidak terlihat ?  Paham mengenal ’’tempat yang tepat’’ berdasarkan dua tanda yang tidak bisa salah merupakan cara yang harus ditempuh. Tanda pertama bersifat sosial yaitu keselarasan sosial, dan tanda kedua bersifat psikologis yaitu ketenangan batin, ketiadaan rasa kaget, dan kebebasan dari ketegangan emosional. Tanda-tanda tersebut dapat dipahami apabila prinsip rukun dan hormat ditegakkan.
Sangkan paraning dumadi merupakan paham asal usul dan apa tujuan manusia di dunia. Paham ini mendorong manusia berhadapan dengan hakekat yang bermakna dalam kehidupannya yaitu penyatuan diri dengan Tuhannya. Manusia harus menyadari bahwa mereka berasal dari Tuhan, mengemban misi di dunia dari Tuhan, dan kelak akan mempertanggungjawabkan misi di dunia kepada Tuhan. Oleh sebab itu pancaran Ilahiah dari Tuhan harus menjadi pedoman utama dalam menjalankan misi di muka bumi. Akan tetapi pada akhirnya takdir Tuhanlah yang lebih menentukan tanpa suatu keberdayaan manusia. Manusia hanya bisa melakukan apa yang sesuai dengan ”tempatnya”, sehingga dalam kehidupan harus selalu berusaha untuk bisa memahami ”tempatnya”.
3. Sumberdaya Ekonomi Yogyakarta Saat ini
Dari masa ke masa sektor agraris merupakan sumber perekonomian utama pada masyarakat Jawa pedalaman termasuk di sekitar Yogyakarta. Produksi bahan pangan dan palawija merupakan komoditas paling dominan. Akan tetapi pada masa depan ada tiga faktor yang akan membentuk pertanian di Yogyakarta, khususnya di wilayah lowland, yaitu meningkatnya tekanan penduduk, berkurang dan menyempitnya lahan pertanian, serta pengaruh nilai-nilai global dalam kegiatan ekonomi perdesaan. Nilai positip tekanan penduduk bagi pertanian adalah bertambahnya permintaan terhadap komoditas pertanian. Jika peningkatan jumlah penduduk diiringi perbaikan ekonominya, permintaan terhadap komoditas pertanian menjadi lebih beragam dan berkualitas. Mengecilnya lahan pertanian akan membawa pertanian yang bercorak urban farming, yaitu budidaya secara intensif pada lahan sempit untuk menghasilkan produk berkualitas dengan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak diperlukan masyarakat. Struktur produksi yang esensial pada situasi seperti ini adalah pada modal, managerial, dan keusahawanan (entrepreneurship).
Pada saat ini sektor jasa, perdagangan, industri kecil, dan kerajinan juga menjadi andalan Yogyakarta. Peran sebagai daerah wisata kedua setelah Bali dan peran sebagai kota pendidikan menjadikan Yogyakarta memiliki keunggulan dibandingkan wilayah di Indonesia lainnya. Wilayah yang terletak di pedalaman dan jauh dari pesisir utara ini berperan sebagai wilayah tujuan, bukan sebagai wilayah transit. Sebagai wilayah tujuan, Yogyakarta sangat dinamis dalam pergerakan manusia, barang, dan modal. Kondisi ini diantaranya dapat dilihat dari perubahan kepemilikan lahan permukiman yang banyak dikuasai oleh orang luar Yogyakarta serta hubungan transportasi udara dengan Jakarta yang mencapai lebih dari 20 penerbangan dalam sehari.
Perkembangan sektor perekonomian non agraris pada propinsi dengan luas wilayah 3.186 m2 dan berpenduduk 3.311.812 jiwa pada tahun 2000 (Anonim, 2005) ini, yang bertopang pada pariwisata dan pendidikan, akan berkoneksi dengan beragam bidang kehidupan. Kedua peran tersebut mendorong tumbuhnya industri kreatif oleh masyarakat yang berdampak besar pada sektor perekonomian. Berbagai industri kecil dan rumahan seperti kerajinan souvenir, makanan ringan, pakaian maupun jasa seperti, berbagai paket wisata, lembaga pendidikan, lembaga konsultan, berkembang pesat di Yogyakarta untuk melayani berbagai wilayah di Indonesia bahkan mancanegara. Potensi pariwisata Yogyakarta yang berperan dalam penggerak perekonomian dapat dikelompokkan ke dalam wisata budaya, atraksi wisata, dan wisata alam.

  1. Pengertian Inovasi
Inovasi adalah suatu penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Seseorang yang inovatif akan selalu berupaya melakukan perbaikan, menyajikan sesuatu yang baru/unik yang berbeda dengan yang sudah ada.
Berdasarkan pengertian tersebut, Robbins lebih memfokuskan pada tiga hal utama yaitu :
  1. Gagasan baru yaitu suatu olah pikir dalam mengamati suatu fenomena yang sedang terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan, gagasan baru ini dapat berupa penemuan dari suatu gagasan pemikiran, Ide, sistem sampai pada kemungkinan gagasan yang mengkristal.
  2. Produk dan jasa yaitu hasil langkah lanjutan dari adanya gagasan baru yang ditindak lanjuti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian dan percobaan sehingga melahirkan konsep yang lebih konkret dalam bentuk produk dan jasa yang siap dikembangkan dan dimplementasikan termasuk hasil inovasi dibidang pendidikan.
  3. Upaya perbaikan yaitu usaha sistematis untuk melakukan penyempurnaan dan melakukan perbaikan (improvement) yang terus menerus sehingga buah inovasi itu dapat dirasakan manfaatnya.
Pengertian Inovasi menurut para ahli :
  • Pengertian Inovasi menurut Everett M. Rogers
Mendefisisikan bahwa inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.
  • Pengertian Inovasi menurut Stephen Robbins
Mendefinisikan, inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa.
  • Pengertian Inovasi menurut Van de Ven, Andrew H
Inovasi adalah pengembangan dan implementasi gagasan-gagasan baru oleh orang dimana dalam jangka waktu tertentu melakukan transaksi-transaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan  organisasi.
  • Pengertian Inovasi menurut Kuniyoshi Urabe
Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali pukul (one time phenomenon),melainkan suatu proses yang panjang dan kumulatif yang meliputi banyak proses pengambilan  keputusan  di dan oleh  organisasi dari mulai penemuan gagasan sampai implementasinya di pasar.
  • Pengertian Inovasi menurut UU No. 18 tahun 2002
Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.
  • Everett M. Rogers (1983)
Mendefisisikan bahwa inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.
  • Stephen Robbins (1994)
Mendefinisikan, inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa.
Inovasi mempunyai 4 (empat) ciri yaitu :
  1. Memiliki kekhasan / khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas dalam arti ide, program, tatanan, sistem, termasuk kemungkinan hasil yang diharapkan.
  2. Memiliki ciri atau unsur kebaruan, dalam arti suatu inovasi harus memiliki karakteristik sebagai sebuah karya dan buah pemikiran yang memiliki kadar Orsinalitas dan kebaruan.
  3. Program inovasi dilaksanakan melalui program yang terencana, dalam arti bahwa suatu inovasi dilakukan melalui suatu proses yang yang tidak tergesa-gesa, namun keg-inovasi dipersiapkan secara matang dengan program yang jelas dan direncanakan terlebih dahulu.
  4. Inovasi yang digulirkan memiliki tujuan, program inovasi yang dilakukan harus memiliki arah yang ingin dicapai, termasuk arah dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Sifat Perubahan Dalam Inovasi Ada 6 Kelompok Yaitu :
1. Penggantian (substitution)
Misalnya : Inovasi dalam penggantian jenis sekolah, penggantian bentuk perabotan, alat-alat atau sistem ujian yang lama diganti dengan yang baru.
2. Perubahan (alternation)
Misalnya : Mengubah tugas guru yang tadinya hanya bertugas mengajar, ditambah dengan tugas menjadi guru pembimbing dan penyuluhan / mengubah kurikulum sekolah yang semula bercorak teoretis akademis menjadi kurikulum dan mata pelajaran yang berorientasi bernuansa keterampilan hidup praktis.
3. Penambahan (addition)
Misalnya : Adanya pengenalan cara penyusunan dan analisis item tes objektif di kalangan guru sekolah dasar dengan tidak mengganti atau mengubah cara-cara penilaian yang sudah ada.
4. Penyusunan kembali (restructturing)
Misalnya : Upaya menyusun kembali susunan peralatan, menyusun kembali komposisi serta ukuran dan daya tampung kelas, menyusun kembali urutan mata-mata pelajaran / keseluruhan sistem pengajaran, sistem kepangkatan, sistem pembinaan karier baik untuk tenaga edukatif maupun tenaga administratif, teknisi, dalam upaya perkembangan keseluruhan sumber daya manusia dalam sistem pendidikan.
5. Penghapusan (elimination)
Contohnya : Upaya menghapus mata-mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran menulis halus, atau menghapus kebiasaan untuk senantiasa berpakaian seragam
6. Penguatan (reinforcement)
Misalnya : Upaya peningkatan atau pemantapan kemampuan tenaga dan fasilitas sehingga berfungsi secara optimal dalam permudahan tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

  1. Program Inovasi dalam Antropologi Terapan
Semua kebudayaan senantiasa mengalami perubahan. Sebagian dari prubahan – perubahan ini terjadi dengan cepat dan yang lain agak lamban. Perubahan kebudayaan dapat terjadi secara tidak sengaja seperti dalam suatu kelompok orang yang tertimpa bencana alam, misalnya meletusnya gunung berapi, sehinnga mereka terpaksa pindah dan dengan cara demikian mengubah banyak dari kebiasaan hidup mereka. Akan tetapi perubahan kebudayaan dapat pula direncanakan. Misalnya program bantuan teknis dan kesehatan dari badan – badan seperti UNESCO atau Peace Corps sering disertai usaha untuk mengubah kebudayaan dengan suatu cara tertentu.
Dalam program inovasi inilah biasanya para ahli antropologi terlibat dalam suatu perencanaan atau pelaksanaan perubahan yang telah ditetapkan. Cabang antropologi terapan mengkhususkan diri pada perubahan kebudayaan yang direncanakan dimana tujuan kerja pada antropologi terapan ini adalah untuk memperkenalkan suatu perubahan tertentu pada cara hidup suatu masyarakat tertentu pada umumnya berupa makanan baru, sistem sanitasi, program kesehatan atau proses pertanian. Dalam antropologi, antropologi yang diterpkan dapat disamakan kedudukannya dengan kedudukan ilmu teknik dalam ilmu fisika. Sebagaimana agar efektif ilmu teknik tergantung pada pengetahuan seorang sarjana fisika mengenai hukum – hukum alam, demikian pula antropologi terapan tergantung pada pengetahuan seorang ahli mengenai hukum – hukum yang menguasai aneka ragam kebudayaan dan perubahan kebudayaan dengan program inovasi tersebut.
  1. Penerimaan program inovasi
Dalam kaitannya dengan perubahan berencana terutama dalam program pembangunan yang umumnya menggunakan badan – badan intenasional dan para ahli antropologi, jumlah ahli antropologi yang dipekerjakan terus mengalami penurunan sehingga hanya sedikit ahli antropologi terapan yang melakukan kegiatan dalam ahli antropologi terapan hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut :
1.      Adanya anggapan dari administrator bahwa ahli antropologi bekerja lamban, memberikan laporan yang  terlalu teknis untuk dapat digunakan dan terlalu bersimpati pada persoalan-persoalan masyarakat yang menjadi objek penelitian.
2.      Banyaknya kesulitan serta kekacauan yang sering dihadapi oleh ahli antropologi khususnya dalam kaitannya dengan orang-orang yang berusaha mengadakan perubahan dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudaan sendiri.
3.      Keengganan para ahli antropologi untuk ikut dalam perubahan yang direncananakan (program inovasi) pengetahuan antropologi tentang wilayah-wilayah serta penduduknya belum memadai untuk membenarkan penerapan antropologi.
4.      Banyak ahli antropologi yang menolak untuk melaksanakan kegiatan antropologi terapan karena merasa bahwa maksud para ahli antropologi atau perorangan lain yang beriktikad baik untuk mencampuri kehidupan orang lain tidak dapat dibenarkan.
Persoalan lain yang ada dalam program inovasi khususnya dalam berantropologi terapan adalah masalah pertimbangan etika. Pertimbangan etika yang utama adalah apakah suatu proyek perubahan yang direncanakan sungguh – sungguh akan bermanfaat bagi penduduk sasaran.
Hal2 yang perlu di perhatiakan seblum memeutuskan melaksanakan program inovasi.
1.     Menentukan keuntungan umum dari perubanahn berencana.
2.     Eika dalam antropologi terapan.
3.     Peneriaman antropologi yang di terpkan
4.      Penerapan,Perkembangan dan kelanjutan progaram yang efektif.
Tahapan
Setelah kita ketahui model proses keputusan inovasi yang menunjukkan urutan kelima tahap proses keputusan inovasi, maka berikut ini akan dijelaskan setiap tahap secara terinci. (lihat postingan sebelumnya tentang model proses keputusan inovasi disini)
1.    Tahap Pengetahuan
Proses keputusan inovasi dimulai dengan tahap pengetahuan, yaitu tahap pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut. Ada tiga tipe pengetahuan dalam tahap pengenalan inovasi, yaitu: kesadaran/pengetahuan mengenai adanya inovasi, pengetahuan “teknis” dan pengetahuan “prinsip”. Tipe yang pertama yakni pengetahuan kesadaran akan adanya inovasi yang telah dibicarakan di sebelumnya. Tipe yang kedua, meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara pemakaian atau penggunaan suatu informasi. Tipe pengetahuan yang ketiga adalah berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu informasi.
Pengertian menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui inovasi. Seseorang menyadari atau membuka diri terhadap suatu inovasi tentu dilakukan secara aktif  bukan secara pasif. Misalnya pada acara siaran televisi disebutkan berbagai macam acara, salah satu menyebutkan bahwa pada jam 19.30 akan ada siaran tentang metode baru cara mengajar berhitung di Taman Kanak-kanak. Guru A yang mendengar dan melihat acara tersebut kemudian sadar bahwa ada metode baru, serta membuka dirinya untuk mengetahui apa dan bagaimana metode tersebut, maka pada diri Guru A tersebut sudah mulai proses keputusan inovasi pada tahap pengetahuan. Sedangkan guru B walaupun mendengar dan melihat acara TV, tidak ada keinginan untuk tahu, maka belum terjadi proses keputusan inovasi. 
Seseorang menyadari perlunya mengetahui inovasi biasanya tentu berdasarkan pengamatannya tentang inovasi itu sesuai dengan kebutuhannya, minatnya atau mungkin juga kepercayaannya. Seperti contoh A tersebut, berarti ia ingin tahu metode baru berhitung karena ia memerlukannya. Adanya inovasi menumbuhkan kebutuhan, karena kebetulan ia merasa butuh. Tetapi mungkin juga terjadi bahwa karena seseorang butuh sesuatu maka untuk memenuhinya diadakan inovasi. Dalam kenyataan di masyarakat hal yang kedua ini jarang terjadi, karena banyak orang tidak tahu apa yang diperlukannya. Apalagi dalam bidang pendidikan, yang dapat merasakan perlunya ada perubahan biasanya orang yang ahli, sedang guru sendiri belum tentu mau menerima perubahan atau inovasi yang sebenarnya diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana halnya menurut dokter, kita perlu makan vitamin, tetapi kita tidak menginginkannya, dan sebaliknya sebenarnya kita ingin sate tetapi menurut dokter justru sate membahayakan kita.
Setelah seseorang menyadari adanya inovasi dan membuka dirinya untuk mengetahui inovasi, maka keaktifannya untuk memenuhi kebutuhan ingin tahu tentang inovasi itu bukan hanya berlangsung pada tahap pengetahuan saja tetapi juga pada tahap yang lain bahkan sampai tahap konfirmasi masih ada keinginan untuk mengetahui aspek-aspek tertentu dari inovasi.
Pada permulaannya ingin tahu tentang apa, mengapa dan bagaimana cara bekerjanya. Pada tahap persuasi biasanya ingin tahu lebih jauh lagi tentang bagaimana cara menggunakannya yang benar, syarat-syarat yang diperlukan dan sebagainya. Makin komplek suatu inovasi maka makin banyak dan komplek juga yang harus diketahui. Kemudian dapat berkembang lebih mendalami lagi yang ingin diketahui yaitu bagaimana prinsip-prinsip penggunaannya, dalam hal ini ada kaitannya dengan dasar teorinya. Makin jelas dan makin dalam seseorang mengetahui inovasi akan makin kuat landasan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang inovasi, ada generalisasi (prinsip-prinsip umum) tentang orang yang lebih awal mengetahui tentang inovasi :
(a)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi pendidikannya daripada yang akhir.
(b)     Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosial ekonominya daripada yang akhir
(c)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap media massa daripada yang akhir.
(d)     Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap komunikasi interpersonal daripada yang akhir.
(e)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak kontak dengan agen pembaharu daripada yang akhir.
(f)      Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak berpartisipasi dalam sistem sosial daripada yang akhir.
(g)     Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih kosmopolitan daripada yang akhir.
Perlu diketahui juga bahwa tahu tentang inovasi tidak sama dengan melaksanakan atau menerapkan inovasi. Banyak orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan, dengan berbagai kemungkinan penyebabnya.

2.    Tahap Bujukan (Persuasi)
Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama bidang kognitif, maka pada tahap persuasi yang berperan utama bidang afektif atau perasaan. Seseorang tidak dapat menyenangi inovasi sebelum ia tahu lebih dulu tentang inovasi.
Dalam tahap persuasi ini lebih banyak keaktifan mental yang memegang peran. Seseorang akan berusaha mengetahui lebih banyak tentang inovasi, dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada tahap ini berlangsung seleksi informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah peranan karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses keputusan inovasi (lihat Bagan 1. Model Tahap-Tahap Proses Keputusan Inovasi).
Dalam tahap persuasi ini juga sangat penting peran kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan inovasi di masa datang. Perlu ada kemampuan untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental ini, perlu adanya gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan inovasi, jika mungkin sampai pada konsekuensi inovasi.
Hasil dari tahap persuasi yang utama ialah adanya penentuan menyenangi atau tidak menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan mengarahkan proses keputusan inovasi atau dengan kata lain ada kecenderungan kesesuaian antara menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi. Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya antara sikap dan aktivitas masih ada jarak. Orang menyenangi inovasi belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara: pengetahuan, sikap dan penerapan (praktek). Misalnya seorang guru tahu tentang metode diskusi, tahu cara menggunakannya, dan senang seandainya menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa faktor: tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu banyak, dan takut bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Perlu ada bantuan pemecahan masalah.
Dalam penerapan inovasi ada pula yang disebut preventive innovation (inovasi preventif) yaitu seseorang menerapkan inovasi karena ingin terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Misalnya keluarga berencana, penggunaan helm, mengikuti asuransi, dan sebagainya.

3.    Tahap Keputusan
Tahap keputusan dari proses keputusan inovasi, berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarah untuk menetapkan menerima atau menolak inovasi. Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi.
Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi setelah ia mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil lebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat dicobadengan dipecah menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian demi bagian akan lebih cepat diterima.
Dapat juga terjadi percobaan cukup dilakukan sekelompok orang, dan yang lain cukup mempercayai dengan hasil percobaan temannya. Perlu diperhatikan bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya penolakan dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi yaitu:
(a)      Penolakan aktif artinya penolakan inovasi setelah melalui proses mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mungkin sudah mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan akhir menolak inovasi.
(b)     Penolakan pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara: pengetahuan, persuasi dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan. Satu dengan yang lain saling berkaiatan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan: pengetahuan-keputusan inovasi-baru persuasi.

4.    Tahap Implementasi
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktek. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi juga tejadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Kapan tahap implementasi berakhir? Mungkin tahap ini berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tergantung dari keadaan inovasi itu sendiri. Tetapi biasanya suatu tanda bahwa taraf implementasi inovasi berakhir jika penerapan inovasi itu sudah melembaga atau sudah menjadi hal-hal yang bersifat rutin. Sudah tidak menerapkan hal yang baru lagi.
Dalam tahap implementasi dapat terjadi hal yang yang disebut Reinvention (invensi kembali) yaitu penerapan inovasi dengan mengadakan perubahan atau modifikasi. Jadi penerapan inovasi tetapi tidak sesuai dengan aslinya. Reinvensi bukan berarti tentu hal yang tidak baik, tetapi terjadinya re-invensi dapat merupakan kebijakan dalam pelaksanaan atau penerapan inovasi, dengan mengingat kondisi dan situasi yang ada.
Hal-hal yang memungkinkan terjadinya re-invensi antara lain: inovasi yang sangat komplek dan sukar dimengerti, penerima inovasi kurang dapat memahami inovasi karena sukar untuk menemui agen pembaharu, inovasi yang memungkinkan berbagai kemungkinan aplikasi, apabila inovasi diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat luas, kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan re-invensi.

5.    Tahap Konfirmasi
Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi, yang berlangsung dalam waktu yang tak terbatas. Selama dalam tahap konfirmasi seseorang berusaha menghindari terjadinya disonansi atau paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang antara lain disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan internal. Orang itu merasa dalam dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut disonansi, sehingga orang itu merasa tidak enak. Jika seseorang merasa dalam dirinya terjadi disonansi, maka ia akan berusaha untuk menghilangkannya atau paling tidak menguranginya dengan cara megubah pengetahuaannya. Dalam hubungannya dengan difusi inovasi, usaha mengurangi disonansi dapat terjadi :
(a)      Apabila seseorang menyadari akan sesuatu kebutuhan dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan mencari informasi tentang inovasi. Hal ini terjadi pada tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
(b)     Apabila seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi inovasi tersebut, tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi. Maka ia akan berusaha untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi antara apa tang disenangi dan diyakini dengan apa yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap keputusan inovasi, dan tahap implementasi dalam proses keputusan inovasi.
Setelah seseorang menetapkan menerima dan menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan cara tidak melanjutkan penerimaan dan penerapan inovasi (discontinuing). Ada kemungkinan lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian diajak untuk menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima inovasi (mengubah keputusan semula). Perubahan ini terjadi (tidak meneruskan inovasi atau mengikuti inovasi terlambat) pada tahap konfirmasi dari proses keputusan inovasi.
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut, berkaitan dengan perubahan tingkah laku seseorang sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan sangat erat hubungannya bahkan sukar dipisahkan karena yang satu mempengaruhi yang lain. Sehingga dalam kenyataan kadang-kadang sukar orang akan mengubah keputusan yang sudah terlanjur mapan dan disenangi, walaupun secara rasional diketahui ada kelemahannya. Oleh karena sering terjadi untuk menghidari timbulnya disonansi, maka ia hanya berusaha mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya. Dengan kata lain orang itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi (selective exposure).
Diskontinuansi adalaah keputusan seeorang untuk menghentikan penggunaan inovasi setelah sebelumnya mengadopsi. Ada dua macam diskontinuansi :
1.    Keputusan untuk menghentikan penggunaan suatu inovasi karena ia menerima ide baru yang lebih baik menurut pandangannya.
2.    Keputusan untuk mogok sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap hasil inovasi.
Untuk menghindari terjadinya drop out dalam penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue) peranan agen pembaharu sangat dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang yang akan mudah terpengaruh pada informasi negatif tentang inovasi.
Demikian uraian kelima tahap dari proses keputusan inovasi opsional, yang terjadi pada individu atau unit pengambil keputusan. Proses ini terutama terjadi dalam proses difusi inovasi yang sasaran utamanya anggota sistem sosial secara pribadi (perorangan) bukan sebagai kesatuan organisasi. Misalnya dalam lapangan pertanian. Namun demikian dapat juga dipakai sebagai bahan pemikiran atau perbandingan dalam pelaksanaan difusi inovasi pendidikan, karena pola proses terjadinya perubahan pada tiap individu tetap sama. Misalnya untuk difusi inovasi pendidikan “penggunaan pendekatan ketrampilan proses dalam mengajar”, maka sasaran utamanya juga guru-guru. Hanya perbedaannya, kalau inovasi pertanian mungkin setiap petani dapat  membuat perbedaan keputusan ada yang menerima ada yang menolak. Kalau guru tentu semuanya menerima dan mau melaksanakan, karena terikat kedinasan, tetapi secara pribadi tetap dapat berlaku tahap-tahap proses keputusan inovasi seperti model yang telah kita pelajari.
Program Inovasi