Yogyakarta
adalah pusat kebudayaan Jawa selain Surakarta. Kebudayaan Jawa merupakan salah
satu kebudayaan penting diantara kebudayaan daerah lainnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara pada masa lampau dan saat ini. Dalam kebudayaan dan
kehidupan Jawa terkandung nilai-nilai yang menjadi pedoman dan pegangan hidup
dalam bermasayarakat. Pada saat ini dan di masa mendatang nilai-nilai tersebut
mulai terdegradasi dalam pusaran dinamika budaya global. Bab ini membahas
latarbelakang dan karakteristik kehidupan masyarakat Jawa yang dapat dijadikan
landasan bagi berbagai studi sosial budaya masyarakat Jawa.
1. Sejarah
Yogyakarta
Kronologi
sejarah didasarkan pada catatan yang ditinggalkan atau ditemukan bukan
berdasarkan mitos yang berkembang. Catatan sejarah awal Yogyakarta dan
sekitarnya dijumpai dari prasasti-prasasti yang ditemukan pada bagian bangunan
candi yang banyak ditemukan di sekitar Yogyakarta. Bangunan-bangunan candi ini
juga merupakan bukti bahwa pada masa itu sekitar Yogyakarta telah menjadi pusat
peradaban yang cukup maju.
Sejarah yang
cukup panjang tercatat semenjak tahun 732 M dimana seorang raja telah membangun
kerajaan Mataram kuno pada wilayah ini. Raja menurunkan dua dinasti besar yaitu
Syailendra dan Sanjaya. Antara 750 – 850 M Dinasti Syailendra yang bercorak
Budha berada pada tampuk kekuasaan yang banyak menghasilkan mahakarya seperti
Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Lumbung dan lainnya. Dinasti Sanjaya yang
bercorak Hindu berkuasa 856 – 930 M melanjutkan kejayaan Dinasti Sailendra menghasilkan
mahakarya seperti Candi Prambanan, Kraton Ratu Boko, Candi Sambisari dan
lainnya. Kedua dinasti dapat mewujudkan harmonisasi antara Budha dan Hindu yang
tercermin dari corak candi yang saling berdampingan di sekitar Kecamatan
Prambanan dan Kalasan saat ini (Subarno, 1994).
Pada masa
sekitar 930 - 1000 M Mataram Kuno di Yogyakarta mulai memudar dan muncul
kelanjutannya di Jawa Timur. Sebab-sebab hilangnya Mataram Kuno tidak dapat
dipastikan, tetapi kombinasi dari berbagai peristiwa seperti letusan Gunungapi
Merapi, gempabumi, wabah penyakit, maupun serbuan dari luar merupakan spekulasi
yang sering ditawarkan sejarawan. Yang pasti adalah semua mahakarya pada masa
itu, ditemukan sebagai puing-puing reruntuhan atau tertimbun tanah semenjak
abad ke-18 sampai sekarang tanpa menyisakan kehidupan dan perilaku masyarakat
berperadaban Hindu-Budha.
Andreastuti
dkk. (2006) menyimpulkan mengenai rekonstruksi
runtuhnya Mataram Kuno hubungannya dengan Merapi sebagaimana uraian
berikut ini.
”Dugaan Labberton (1922) dan Bemmelen (1949) bahwa
suatu letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram
Hindu ke Jawa Timur telah dibantah oleh Boechari (1976) karena Kerajaan Mataram
telah pindah ke Jawa Timur sejak tahun 928. Hal ini juga ditunjukkan dengan
ditemukannya Prasasti Anjukladang yang dibuat oleh Mpu Sindok pada tahun 937,
dan merupakan prasasti Kerajaan Mataram pertama di Jawa Timur. Pada prasasti
Pucangan secara jelas disebutkan bahwa pralaya di kerajaan Mataram terjadi
tahun 1016 disebabkan oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram pada jaman
pemerintahan Raja Darmawangsa yang memerintah dari tahun 991-1016 M.
Penggantinya adalah Airlangga yang membuat Prasasti Pucangan pada tahun 1041
dan memerintah dari tahun 1019-1042. Dari penemuan endapan Selo tefra dan
berdasarkan fakta sejarah bahwa Mpu Sindok telah memerintah pada 928 atau 929
sampai 948, maka kemungkinan letusan Merapi cukup besar waktu itu (VEI 3-4)
yang terjadi antara tahun 765-911 telah mendorong penduduk Kerajaan Mataram untuk
mulai pindah ke Jawa Timur. Endapan debris avalanche yang terjadi di Merapi
mungkin dalam skala kecil antara tahun 870-970. Bukti-bukti ini menyimpulkan
bahwa letusan besar Gunung Merapi pada tahun 1006 tidak pernah terjadi. Dari
fakta-fakta yang telah dibahas di atas, ada tiga kemungkinan penyebab pindahnya
penduduk Kerajaan Mataran ke Jawa Timur pada waktu itu, yaitu akibat intensitas
Merapi yang tinggi, atau untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya,
dan yang terakhir karena letak lokasi perdagangan yang strategis di daerah
Delta Brantas.”
Lebih jelas
Mulyaningsih (1999) menegaskan bahwa letusan ke arah selatan terjadi tahun 1285
berupa surukan piroklastik sejauh 32,5 km dan aliran lahar. Tahun 1587-1600
letusan besar Merapi berupa surukan piroklastik sejauh 32 km dan aliran lahar
sejauh 34,5 km. Tahun 1660 terjadi letusan Merapi diikuti letusan berikutnya
yang membentuk kipas koluvial dengan ketebalan endapan sekitar 60-800 cm.
Letusan-letusan tersebut mengubur sisa-sisa kerajaan Mataram Kuno yang sudah
ditingalkan.
Catatan sejarah
Yogyakarta muncul kembali dengan kehadiran Pemanahan (keturunan Majapahit) pada
tahun 1570 dengan membangun Kerajaan
Mataram Kotagede (Richfles,
2006). Secara geopolitik wilayah ini
cenderung aman dari serbuan asing meskipun jauh dari pusat perekonomian yang
berada di pesisir utara Jawa. Kerajaan selanjutnya dikokohkan oleh keturunannya
yaitu Sutowijoyo yang bergelar Penembahan Senopati (1587), sebagai orang
yang meletakkan kembali kekuasaan serta pusat budaya Jawa di Yogyakarta dan
sekitarnya untuk masa-masa selanjutnya. Turunannya
adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613) yang terkenal dalam serangan
terhadap VOC di Batavia. Amangkurat I anak Hanyokrokusumo bertahta tahun 1648
yang bertabiat buruk dan kejam memindahkan pusat kerajaan di Pleret untuk
meneguhkan kekuasaannya. Putranya Amangkurat II bekerjasama dengan Trunonjoyo
pada tahun 1670 melakukan pemberontakan dan berhasil menyingkirkan Amangkurat
I, kemudian memindahkan kerajaan ke Kartosuro. Geger Pacinan menjadikan kerajaan bergeser dari Kartosuro ke
Surakarta. Perang suksesi pertama dan kedua merupakan dinamika politik di kerajaan
Surakarta.
Perang suksesi
ketiga di Surakarta dan campur tangan VOC menghsilkan perjanjian Gianti yang
memunculkan kembali Yogyakarta sebagai kerajaan pecahan dari
Surakarta. Pada 7 Oktober 1756
Kesultanan Yogyakarta didirikan
oleh Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I. Lokasi kerajaan secara
geopolitik terletak pada perlindungan pertahanan yang kuat yaitu benteng untuk
pertahanan ring pertama, Sungai Winongo dan Code ring kedua, Sungai Bedog dan
Gajahwong ring ketiga, serta Sungai Progo dan Opak ring ke empat (Anonim,
2005). Pada sisi utara Gunungapi Merapi sebagai simbol api dan sisi selatan
Laut Selatan sebagai simbol air dengan pusat penyatuannya di kraton, merupakan
simbolisasi hubungan kehidupan kosmik yang telah dijadikan sebagai kekuatan
wibawa kerajaan. Pembangunan pertahanan bawah tanah Taman Sari diwujudkan
sebagai refleksi terhadap dinamika politik di Kerajaan Surakarta yang tidak
memiliki sistem pertahanan berlapis.
Tahun 1825-1830
seorang pangeran Yogyakarta yaitu Diponegoro melakukan perlawanan terhadap
kesewenangan Belanda yang secara yuridis telah menjadi penguasa mutlak atas
Jawa bahkan Nusantara. Perang Jawa ini merupakan pukulan berat bagi Belanda
meskipun hanya berlangsung sebentar. Pasca perang Jawa, Belanda semakin
memperkokoh kedudukannya untuk menguasai Nusantara. Masa 1900-an Yogyakarta
memiliki peran yang tidak kecil dalam kebangkitan kesadaran akan konsepsi
Indonesia yang dikenal sebagai Kebangkitan Nasional. Pernyataan Hamengkubuwono
IX dan Pakualam VIII tentang Yogyakarta merupakan bagian dari Republik
Indonesia pasca pernyataan proklamasi 1945, menjadikan Yogyakarta dipilih
sebagai Ibukota perjuangan bagi Republik Indonesia antara tahun 1946-1949.
2. Sosial
Budaya Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa
yang dimaksud adalah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan
yang masih menjalankan nilai-nilai budaya Jawa baik kebiasaan perilaku maupun
seremonialnya. Saat ini etnis Jawa telah menyebar hampir disegala penjuru
Indonesia. Ditinjau dari geografis masa lampau, kehidupan masyarakat Jawa ada
di wilayah administrasi propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur saat ini. Masyarakat terbagi dalam Jawa pesisir utara dan pedalaman.
Berdasar administrasi saat ini masyarakat Jawa pesisir meliputi eks karesidenan
Pekalongan, Semarang, Tuban, dan Surabaya, sedangkan masyarakat Jawa pedalaman
meliputi eks karesidenan Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, serta Madiun,
Kediri, dan Malang, ketiga terakhir dikenal sebagai wilayah Mataraman. Wilayah
Tapalkuda merupakan wilayah yang pengaruh Jawanya berkombinasi dengan pengaruh
Madura.
Dalam
masyarakat Jawa dikenal dua kaidah dasar kehidupan yaitu prinsip kerukunan dan
prinsip hormat (Suseno, 2001). Kedua prinsip merupakan kerangka normatif yang
menentukan bentuk kongkrit semua interaksi. Rukun berarti berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Rukun
merupakan keadaan yang harus dipertahankan dalam semua hubungan sosial seperti
rumah tangga, dusun, desa, dan lainnya. Tujuan rukun adalah keselarasan sosial.
Sementara prinsip hormat merupakan cara seseorang dalam membawa diri selalu
harus menunjukkan sikap menghargai terhadap orang lain sesuai derajat dan
kedudukannya. Prinsip hormat didasarkan pada pandangan bahwa semua hubungan
dalam masyarakat teratur secara hirarkis yang merupakan kesatuan selaras sesuai
tatakrama sosial.
Kesadaran akan
kedudukan sosial merupakan hal yang penting dalam prinsip rukun dan hormat
masyarakat Jawa. Interaksi sosial yang berlangsung harus menyadari dengan siapa
interaksi tersebut sedang berlangsung. Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya
stratifikasi masyarakat sebagai suatu warisan sistem kerajaan dan sistem feodal
penjajah masa lampau. Dua golongan stratifikasi masyarakat yang saling
berhadapan tersebut meliputi priyayi-wong
lumprah, wong gedhe-wong cilik, pinisepuh-kawulo mudho, santri-abangan, dan sedulur-wong liyo (Endraswara, 2003). Stratifikasi ini menuntut
suatu komunikasi yang berbeda dalam berinteraksi mengimplementasikan prinsip
rukun dan hormat.
Sebagai suatu
sistem kebudayaan, dalam kehidupan masyarakat Jawa juga memiliki suatu
pengalaman religius yang khas. Secara umum pengalaman religius khas masyarakat
Jawa adalah (Suseno, 2001) : (1) kesatuan masyarakat, alam dunia, dan alam
adikodrati sebagai sesuatu yang tidak terpecah belah, (2) sangkan paraning dumadi, dan (3) takdir. Sementara paham sinkritisme, yaitu sikap mendua yang dapat diperankan oleh orang
Jawa, memiliki sisi positif seperti tingginya kemampuan adaptasi masayarakat
Jawa dimanapun berada, meskipun sisi negatif seperti ketidakterusterangan
sangat mewarnai dalam kehidupan.
Kesatuan
masyarakat, alam dunia, dan alam adikodrati terungkap dalam kepercayaan bahwa
semua alam empiris berkaitan persis dengan peristiwa di alam metaempiris.
Manusia dalam berperilaku tidak boleh gegabah sehingga bertabrakan dengan yang
ada di alam metaempiris. Satu-satunya cara menghindari tabrakan adalah dengan
belajar dari pengalaman dan dari tradisi yang ada. Tetapi bagaimana cara
mengenali alam adikodrati yang tidak terlihat ?
Paham mengenal ’’tempat yang tepat’’ berdasarkan dua tanda yang tidak bisa
salah merupakan cara yang harus ditempuh. Tanda pertama bersifat sosial yaitu
keselarasan sosial, dan tanda kedua bersifat psikologis yaitu ketenangan batin,
ketiadaan rasa kaget, dan kebebasan dari ketegangan emosional. Tanda-tanda
tersebut dapat dipahami apabila prinsip rukun dan hormat ditegakkan.
Sangkan paraning dumadi merupakan paham asal usul dan
apa tujuan manusia di dunia. Paham ini mendorong manusia berhadapan dengan
hakekat yang bermakna dalam kehidupannya yaitu penyatuan diri dengan Tuhannya.
Manusia harus menyadari bahwa mereka berasal dari Tuhan, mengemban misi di
dunia dari Tuhan, dan kelak akan mempertanggungjawabkan misi di dunia kepada
Tuhan. Oleh sebab itu pancaran Ilahiah dari Tuhan harus menjadi pedoman utama
dalam menjalankan misi di muka bumi. Akan tetapi pada akhirnya takdir Tuhanlah
yang lebih menentukan tanpa suatu keberdayaan manusia. Manusia hanya bisa
melakukan apa yang sesuai dengan ”tempatnya”, sehingga dalam kehidupan harus
selalu berusaha untuk bisa memahami ”tempatnya”.
3. Sumberdaya
Ekonomi Yogyakarta Saat ini
Dari masa ke
masa sektor agraris merupakan sumber perekonomian utama pada masyarakat Jawa
pedalaman termasuk di sekitar Yogyakarta. Produksi bahan pangan dan palawija
merupakan komoditas paling dominan. Akan tetapi pada masa depan ada tiga faktor
yang akan membentuk pertanian di Yogyakarta, khususnya di wilayah lowland, yaitu meningkatnya tekanan
penduduk, berkurang dan menyempitnya lahan pertanian, serta pengaruh
nilai-nilai global dalam kegiatan ekonomi perdesaan. Nilai positip tekanan
penduduk bagi pertanian adalah bertambahnya permintaan terhadap komoditas
pertanian. Jika peningkatan jumlah penduduk diiringi perbaikan ekonominya, permintaan
terhadap komoditas pertanian menjadi lebih beragam dan berkualitas. Mengecilnya
lahan pertanian akan membawa pertanian yang bercorak urban farming, yaitu
budidaya secara intensif pada lahan sempit untuk menghasilkan produk
berkualitas dengan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak
diperlukan masyarakat. Struktur produksi yang esensial pada situasi
seperti ini adalah pada modal, managerial, dan keusahawanan (entrepreneurship).
Pada saat ini
sektor jasa, perdagangan, industri kecil, dan kerajinan juga menjadi andalan
Yogyakarta. Peran sebagai daerah wisata kedua setelah Bali dan peran sebagai
kota pendidikan menjadikan Yogyakarta memiliki keunggulan dibandingkan wilayah
di Indonesia lainnya. Wilayah yang terletak di pedalaman dan jauh dari pesisir
utara ini berperan sebagai wilayah tujuan, bukan sebagai wilayah transit.
Sebagai wilayah tujuan, Yogyakarta sangat dinamis dalam pergerakan manusia,
barang, dan modal. Kondisi ini diantaranya dapat dilihat dari perubahan
kepemilikan lahan permukiman yang banyak dikuasai oleh orang luar Yogyakarta
serta hubungan transportasi udara dengan Jakarta yang mencapai lebih dari 20
penerbangan dalam sehari.
Perkembangan
sektor perekonomian non agraris pada propinsi dengan luas wilayah 3.186 m2
dan berpenduduk 3.311.812 jiwa pada tahun 2000 (Anonim, 2005) ini, yang bertopang pada pariwisata dan pendidikan, akan
berkoneksi dengan beragam bidang kehidupan. Kedua peran tersebut mendorong
tumbuhnya industri kreatif oleh masyarakat yang berdampak besar pada sektor
perekonomian. Berbagai industri kecil dan rumahan seperti kerajinan souvenir,
makanan ringan, pakaian maupun jasa seperti, berbagai paket wisata, lembaga
pendidikan, lembaga konsultan, berkembang pesat di Yogyakarta untuk melayani
berbagai wilayah di Indonesia bahkan mancanegara. Potensi pariwisata Yogyakarta
yang berperan dalam penggerak perekonomian dapat dikelompokkan ke dalam wisata
budaya, atraksi wisata, dan wisata alam.